Kamis, 19 Mei 2011

Tumbuhnya Megacity Pemicu Masalah Kesehatan Terbesar

 
Go4HealthyLife.com, Jakarta – Masalah kesehatan yang dihadapi oleh apa yang disebut sebagai megacity atau kota besar seperti Tokyo, Mumbai atau New York, siap menjadi masalah besar bagi kebijakan global seiring dengan bertumbuhnya kota-kota besar di seluruh dunia.

Hal itu diungkapkan para ahli yang menghadiri World Health Summit di Berlin, Jerman, Selasa (12/10), sehubungan dengan semakin menjamurnya kota-kota besar di dunia seiring dengan semakin meningkatnya arus urbanisasi, yang berdampak pada kian meningkatnya masalah kesehatan.

Megacity, yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta, bermunculan di seluruh dunia karena penduduk dunia semakin banyak yang bermigrasi dari kampung halaman mereka dan meninggalkan pekerjaan bercocok tanam menuju pusat-pusat perkotaan yang dianggap lebih menjanjikan.

Akan muncul 27 kota besar di dunia pada 2020, naik dari 19 pada 2007, kata Victor Rodwin, direktur World Cities Project di New York University, dengan sebagian besar proyek terletak di Asia, Amerika Selatan atau Afrika.

Selain itu, kota-kota besar itu sendiri tumbuh pada tingkat yang amat cepat. "Untuk setiap menit saya berbicara, orang baru akan pindah ke Lagos, Kinshasa atau Dhaka," kata Ricky Burdett dari London School of Economics.

Satu dari setiap 25 orang di planet ini akan tinggal di megacity hingga 2025, demikian perkiraan Francisco Armada Perez, seorang pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Isu-isu kesehatan yang ditemukan di tempat lain, semakin parah muncul di megacity. Penyakit seperti AIDS, SARS atau flu burung H5N1 dapat menyebar dengan mudah seperti api, khususnya melalui daerah kumuh, yang merupakan kawasan yang dihuni sepertiga penduduk kota.

Kepadatan penduduk dan sanitasi yang buruk mempercepat penularan tuberclosis (TB), dan ini merupakan tantangan utama lain yang dihadapi petugas kesehatan di kota-kota besar.

Burdett juga menyebutkan bahwa 300 orang meninggal setiap hari dalam kecelakaan mobil di India. "Itu setara dengan sebuah jumbo jet jatuh setiap hari dan tidak ada seorangpun yang pernah membicarakan tentang itu," katanya.

Selain itu, tiga perempat dari emisi CO2 global berasal dari daerah perkotaan, yang berarti bahwa perubahan kecil dalam cara orang di kota besar mengonsumsi energi dapat memiliki efek besar pada perubahan iklim.

"Kami sekarang memiliki masalah baru, bidang studi baru, yang merupakan bidang kesehatan perkotaan," kata Rodwin, berbicara pada sebuah panel tingkat tinggi tentang kota besar.

Namun demikian, masalah kesehatan yang dihadapi di dalam megacity tidak terbatas pada negara berkembang, para ahli mengatakan.

"Jika Anda berjalan melalui daerah-daerah miskin di Paris atau London, Anda dapat menemukan masalah kesehatan yang sama seperti yang Anda mungkin temukan di Mumbai atau Lagos," ujar Alfred Leptospira, dari Institute of Public Health Research di Perancis.

Pada April lalu, WHO meluncurkan kampanye besar untuk "membuka ruang publik untuk kesehatan", dengan mendesak sekitar 1.000 kota untuk menutup sebagian jalan untuk lalu lintas dan mendorong digalakkannya program olahraga di taman-taman kota.

Pada 2009, Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan, John Holmes, meramalkan kota-kota besar sudah semakin menjadi sasaran "megadisaster" atau bencana besar akibat perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut karena beberapa kota besar terletak di daerah pesisir.

Kondisi yang digambarkan oleh para ahli itu kini juga dialami oleh Jakarta, yang boleh juga disebut sebagai megacity karena penduduknya kini mencapai sekitar 10 juta orang. Bagaimana tidak, berbagai kondisi yang dapat memicu bermacam masalah kesehatan ada di Jakarta, seperti buruknya sanitasi, pengelolaan sampah, menjamurnya kawasan kumuh, meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan semakin berkurangnya ruang hijau. (sumber: Go4HealthyLife.com)