Selasa, 25 Agustus 2009 | 14:28 WIB
Master Plan DKI Amburadul
Menteng, Warta Kota
Master plan Jakarta amburadul dan tidak konsisten. Agar Jakarta tidak semakin kacau, perlu moratorium pembangunan.
Dalam rencana pertama 1965-1985, Jakarta sudah memiliki konsep ruang terbuka hijau bagus, yaitu green belt, ruang terbuka hijau (RTH) yang melingkari kota. Tapi, dalam rancangan tahun 1985-2005, konsep tadi hilang.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi “Carut Marut Tata Ruang Jakarta Terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta” yang berlangsung di Menara Cakrawala, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (24/8). Hadir dalam diskusi itu Guru Besar Departemen Arsitektur UI Prof Gunawan Tjahjono, Planolog Universitas Trisakti Yayat Supriyatna dan Program Director of Strategic Indonesia Audy Wuisang.
Hilangnya RTH itu disebabkan adanya prioritas pada pembangunan kawasan untuk menggerakkan roda perekonomian. Anehnya, penanganan banjir dan pembuatan drainase tak lagi menjadi prioritas bagi kota yang secara geografis terletak di dataran rendah dan dilewati 13 sungai ini.
Menurut Audy, dampak pembangunan kawasan yang mengutamakan roda perekonomian itu sudah dirasakan masyarakat banyak. “Perkembangan kawasan industri baru seperti Kelapagading dan Pantai Indah Kapuk mengakibatkan dampak bencana banjir yang meluas di Jakarta,” katanya.
Audy menyatakan, Rencana Tata Ruang Jakarta yang menempatkan kedua kawasan tersebut sejatinya merupakan bagian dari kawasan 1.000 hektar sebagai kawasan hutan lindung dan daerah peresapan air. Tetapi, kenyataannya justru diobrak-abrik menjadi kawasan hutan beton.
Yayat menambahkan, buruknya tata kota ini juga bisa terlihat dari bantaran kali dengan kualitas buruk, penataan tepian rel kereta api yang terkesan kumuh, serta ruas jalan yang dipenuhi pedagang kaki lima. “Jakarta menjadi kota dengan kemacetan parah, sangat rentan banjir dan kualitas udara buruk,” katanya. Dia melihat warna peta Jakarta banyak berubah. Warna hijau semakin menghilang.
Data dari Dinas Pengawasan dan Penataan Bangunan (P2B) DKI Jakarta yang dikutip Audy menunjukkan, sepanjang tahun 2008, muncul 3.402 bangunan yang melanggar tata ruang. Pada 2008 itu setiap hari rata-rata berdiri sembilan bangunan bermasalah.
Yayat mengungkapkan, perencanaan tata kota Jakarta sangat tidak transparan. Penduduk kota saat ini tidak mengerti perencanaan kota. “Sudah menjadi standar umum di seluruh dunia bahwa perencanaan kota harus transparan dan dimengerti oleh semua penduduk kota,” katanya.
Kondisi itu, lanjut Yayat, mengakibatkan pembangunan amburadul. “Moratorium pembangunan Jakarta sangat mendesak sampai tata kota Jakarta dibenahi kembali,” ujarnya. (Warta Kota: Irwan Kintoko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar