 |
Upacara Pelantikan Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Periode 2009-2014 |
JAKARTA – Upaya Pemprov DKI Jakarta menindak tegas pengembang yang tidak menyerahkan fasilitas sosial-fasilitas umum (fasos-fasum) didukung kalangan dewan. Mengingat saat ini masih banyak sarana tersebut yang belum diserahkan untuk dijadikan aset pemerintah daerah.
Meski data yang disampaikan dari masing-masing fraksi berbeda terhadap jumlah pengembang yang belum melaksanakan kewajibannya tersebut. Dukungan tersebut terungkap dalam Rapat Paripurna Rapat Paripurna Pemandangan Umum Empat Rancangan Peraturan daerah (Raperda) di Lemhanas, Jakarta, Selasa (13/9).
Salah satunya, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), yang mengatakan saat ini terdapat 216 pengembang yang masih mangkir dan belum menyerahkan fasos-fasumnya. Dengan rincian, di Jakarta Selatan ada 80 pengembang, Jakarta Utara ada 44 pengembang, Jakarta Barat ada 43 pengembang, Jakarta Pusat ada 28 pengembang dan Jakarta Timur ada 21 pengembang. Fasos-fasum yang belum diserahkan berupa jalan, taman, rumah ibadah dan fasilitasi publik lainnya yang diperkirakan mencapai nilai Rp80 triliun.
“Tungakan fasos-fasum dari pengembang tersebut merupakan jumlah yang sangat besar dan akan sangat signifikan jika dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan dan masyarakat,” kata Ichwan Zayadi dalam rapat yang digelar di gedung Lemhanas lantaran gedung rapat paripurna DPRD DKI tengah dalam renovasi.
Bahkan fraksi partai berlambang Ka’bah ini menilai kejahatan terkait fasos-fasum milik Pemprov DKI oleh pengembang sudah sangat canggih dan sistemik. “Bisa dikatakan sudah menjurus kepada kejahatan kerah putih atau white color crime,” ucapnya.
Ironisnya, kasus sengketa lahan fasos-fasum banyak diperkarakan ke ranah hukum di pengadilan dan Pemprov DKI dinyatakan kalah walaupun mengantongi sertifikat hak guna bangunan. Contohnya terhadap gedung kantor Walikota Jakarta Barat, Jalan S Parman Nomor 2 yang telah disengketakan sejak 2006. Dan akhirnya dimenangkan pengembang.
Contoh lainnya yaitu sengketa warga Meruya Selatan, termasuk perumahan karyawan Pemprov DKI Jakarta dan Puskesmas dengan pengembang PT Portanigra. Selain itu, Pengadilan Jakarta Barat pernah mengeksekusi 7 SD Negeri, 1 SMP Negeri dan dua puskesmas yang merukan aset daerah di Jakarta Barat. “Semua ini terjadi bukan hanya pengawasan yang kurang maksimal namun juga dasar hukum untuk penagihan itu lemah,” tandasnya.
Pasalnya dalam melaksanakan penagihan, hanya berdasarkan SIPPT dan nota kesepahaman yang ditandatangani Gubernur dan pengembang yang menerima SIPPT. Selain itu, tidak sedikit pula pengembang sengaja mengabaikan kewajibannya karena hendak mengeruk keuntungan sepihak.
Hal yang sama juga dikatakan anggota Fraksi Demokrat, Mirna Destian Na’amin, menyatakan pengaturan yang lebih jelas mengenai fasos-fasum merupakan kebutuhan yang sangat perlu dan mendesak untuk segera disahkan. Kendati demikian, Fraksi Demokrat mengusulkan dalam raperda itu, harus memuat jadwal penyerahan fasos-fasum oleh pengembang. “Harus ada batas waktu bagi pengembang untuk menyerahkan kewajiban fasos-fasumnya. Jika dalam kurun waktu tertentu tidak menyerahkan maka pemprov dapat melayangkan sanksinya,” tandas Mirna.
Sedangkan Fraksi Golongan Karya (Golkar). Melalui juru bicaranya, Ashraf Ali, menyatakan dibutuhkan pengawasan pembangunan, penagihan dan penindakan terhadap pihak ketiga yang tidak memenuhi kewajibannya.
Disamping itu, perlu dilakukan pelatihan intensif untuk aparat pelaksana baik secara administrasi maupun pengawas di lapangan yang menangani aset daerah. Serta perlu pemberian sanksi kepada para pejabat yang lalai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(guruh/sir)
Sumber : www.poskota.co.id